Perempuan itu mengaku asli Jawa, wajar jika berbahasa Jawa. Namun karena bertahun-tahun berjibaku membangun bisnis di pantai Pangandaran, ia juga luwes berbahasa Sunda. Apa boleh buat, lantaran puluhan tahun melayani pelanggannya di manca negara, dan ia sering terbang ke sana dengan pesawatnya sendiri (ya, pesawatnya sendiri), ia pun bercakap bahasa Inggris seolah berlidah bule. Rasanya nyaris mustahil hal itu terjadi jika kita tahu masa lalunya, karena ia “cuma” lulusan SMP dan “hanya” bakul ikan laut. Wanita berkulit gelap eksotis itu bernama Susi Pudjiastuti.
Barangkali, April ini kebanyakan perempuan Indonesia mengingat Kartini, para pahlawan perempuan lain, serta perempuan perkasa lain yang ditulis media menjelang Hari Kartini. Namun, yang terbayang di benak saya saat ini justru seorang perempuan yang lolos dari pantauan media. Saya justru ingat Susi Pujiastuti — seorang perempuan pebisnis, yang membangun bisnisnya dari nol, sehingga menjadi perusahaan pengekspor hasil laut segar (lobster, tuna, udang, kakap) kelas kakap di Indonesia dengan nilai ekspor puluhan juta USD.
Wirausaha Muda menulis di sini hanya untuk memberi catatan tambahan saja. Pertama, ia seorang yang sukses karena gigih melewati proses.
Berbekal Rp 750 ribu hasil menjual gelang, kalung, dan cincin miliknya, Susi mulai jadi pengepul ikan pada 1983. Waktu itu ia baru sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa 5 kg. Begitu seterusnya. Dalam tempo setahun, ia berhasil memasuki pasar Cilacap.
Makin maju usahanya, Susi lalu mulai menyewakan perahu untuk nelayan mencari ikan dan mobil untuk pengiriman. Kini ia punya ratusan perahu dan puluhan truk. Ia pun kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke beberapa pabrik besar di Jakarta. Tiap hari, pukul 15.00, ia ke Jakarta untuk setor. Di tengah jalan, ia mampir ke Cikampek untuk mengambil kodok. Sampai di Jakarta malam. Setelah mandi dan istirahat ia langsung balik ke Pangandaran. “Begitu tiap hari,” tutur perempuan bersuara berat ini seperti dikutip Jawa Pos.
Ia terus berproses untuk maju.
Dari pengepul dan memasok pabrik dan restoran, ia kemudian meningkatkan diri menjadi produsen dan pengekspor hasil laut.
Kedua, dia selalu berusaha memberi nilai tambah.
Ia tahu, semakin segar ikan yang diekspornya, semakin tinggi pula harganya. Harga ikan dan udang yang fresh sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, bisa dua kali lipat lebih mahal. Misalnya, ikan laut yang biasanya US$ 3/kg, maka kalau tiba kurang dari sehari semalam, harganya bisa menjadi US$ 8/kg. Itu sebabnya ia tak segan-segan membeli pesawat terbang Cessna agar ikan atau udang yang diekspor bisa tiba kurang dari 24 jam.
Ia juga tahu, semakin murni ikan itu dari bahan pengawet, semakin banyak diburu penggemarnya. Maka ia pun membuat pabrik pengolahan ikan tanpa bahan kimia. Pendinginnya pun ramah lingkungan karena menggunakan amoniak, bukan freon yang merusak ozon.
Ia juga paham, meski karyawannya bergelut dengan ikan setiap hari, mereka membutuhkan tempat kerja yang nyaman. Maka pabrik ikannya pun dibangun mirip mal — penuh dengan keramik dan kaca — meski untuk itu ia harus menggelontorkan biaya investasi yang lebih mahal.
Ketiga, ia mengamalkan ilmu ekonomi bisnis.
Jangan tanya teori kepadanya. Ia akan menggeleng. Ia memang tak dibekali ilmu akademis. Sekolah SMA saja DO. Jadi ketika ditanya apa resep suksesnya, ia tak mampu menjawab. Tapi coba perhatikan apa katanya kepada Niriah.com: “Menurut saya ilmu ekonomi itu alamiah. Kalau orang mau berdagang, ya sediakan barang yang bagus, kasih harga yang bagus, begitu saja.”
Ia memang tidak belajar secara akademis. Namun dari jejaknya, terlihat jelas bahwa ia justru mengamalkan berbagai ilmu manajemen yang banyak diteorikan oleh para pakar manajemen.
Dengan ketiga faktor itulah, menurut saya, ia bermetamarfosa dari ulat (seorang yang tekun menggeluti bisnisnya tanpa mengeluh, pantang menyerah) menjadi kupu-kupu (pengusaha hasil laut yang sukses). Kini kupu-kupu itu terbang makin tinggi karena ia juga membangun maskapai pesawat carteran, sebagai ekspansi usahanya. Pesawat Cessna yang semula hanya dipakai untuk mendukung ekspor hasil lautnya ternyata mampu menggugah semangat wirausahanya untuk masuk ke bisnis baru: pesawat carteran. Tahun ini ia bakal memiliki 14 pesawat kecil yang terbang ke daerah-daerah pelosok, termasuk Aceh dan Papua.
0 comments:
Post a Comment